DENPASAR, Kilasbali.com – Wacana untuk memberikan penguatan kepada Desa Adat di Bali terus bergulir. Setelah sebelumnya Menteri Keuangan RI Sri Mulyani memberi angin dengan mendukung agar Desa Adat di Bali mendapatkan alokasi anggaran melalui APBN, hal yang nyaris serupa juga tercetus dari presiden RI Joko Widodo dalam simakrama atau tatap muka dengan tokoh agama dan adat di Bali yang berlangsung di Panggung Terbuka Ardha Candra, Art Center, Jumat (22/3/2019) malam.
Hal tersebut terlihat dari respon Presiden Jokowi setelah mendengarkan permintaan Bendesa Adat Desa Mundeh Kauh, Nyoman Gede Arsa yang berharap masing-masing desa adat mendapat bantuan APBN karena desa adat merupakan benteng budaya Bali.”Ya, ya, saya setuju,”tutur presiden setelah mendengar permintaan Gede Arsa yang dalam kesempatan tersebut diundang menuju podium oleh Presiden Jokowi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani menyatakan mendukung dan siap membahas lebih lanjut inisiatif untuk memberikan alokasi anggaran APBN bagi desa adat di Bali. “Kalau saya mendukung, bahkan mendukung 1000 % untuk itu. Saya memahami dan mengingat pentingnya keberadaan desa adat terutama Bali dalam menjaga kelestarian, saya bersama Pak Gubernur untuk yang satu itu. Tinggal sekarang caranya bagaimana,” jelas Sri Mulyani di hadapan bendesa adat se-Bali dalam acara bertajuk ‘Tatap Muka Menteri Keuangan Bersama Bendesa Adat se-Bali’ di Hotel Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar Kamis (14/3/2019) lalu.
Namun dalam kesempatan tersebut Menkeu juga menyampaikan ada tata cara yang harus dipenuhi, agar alokasi anggaran untuk Desa Adat secara regulasi hukum bisa berjalan. Dalam UU Desa sendiri disebutkan, yang disebut desa dan mendapatkan alokasi anggaran dari APBN adalah desa administratif yang diakui oleh Kementrian Dalam Negeri, yang secara historis berbeda dengan desa adat.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bali Wayan Koster memaparkan bagaimana pentingnya peran Desa Adat sebagai warisan dari leluhur dalam menjaga adat istiadat, tradisi dan budaya di Bali selama berabad-abad. “Desa adat ini terbentuk dari proses sosiologis oleh masyarakat , jadi bukan dibentuk oleh negara tapi oleh masyarakat adat. Jadi sangat otonom dan terpelihara dengan baik. Bali tidak punya emas perak, batubara, tembaga atau gas tapi Bali punya adat istiadat dan budaya yang kaya dan unik. Kalau diberdayakan secara ekonomi tidak akan habis-habisnya dan desa adat punya peranan paling penting untuk menjaganya,“ jelas Koster.
“Bali punya faktor lain yang membedakan dengan daerah lain yang disebut faktor Niskala, yang membawa aura yang kuat. Itulah yang dijaga oleh para bendesa adat ini. Sayangnya para bendesa ini banyak yang tidak mendapatkan apa-apa, murni pengabdian dibandingkan tugasnya yang luar biasa. Ini yang saya upayakan agar benar-benar berdaya di Bali,” tambahnya.
Dalam kesempatan berbeda, Bendesa Adat Penida Kaja, Tembuku, Kabupaten Bangli I Wayan Sugita yang ditemui langsung mendukung upaya pemerintah provinsi agar keberadaan Desa Adat di Bali eksistensinya diakui secara nasional. “Kalau saya pribadi mewaliki krama desa tentunya sangat mengapresiasi jika ada bantuan alokasi anggaran bagi Desa Adat apalagi bagi desa adat yang tidak punya destinasi wisata. Satu hal karena upacara keagamaan yang cukup banyak, sehingga jika ada tambahan bantuan tentunya akan lebih meringankan masyarakat namun tentu saja tanpa mengurangi keikhlasan kami di desa adat untuk ngayah seperti yang sudah selama ini terjaga turun-temurun,” tutur Sugita.
Sugita juga menekankan bahwa dirinya beserta prajuru desa lain serta segenap krama sejatinya sudah cukup bersyukur dengan bantuan yang diberikan pemerintah daerah berupa bansos ataupun bantuan Keuangan khusus (BKK). “Manfaatnya amat dirasakan masyarakat. Tapi seperti yang dikatakan Pak Gubernur, prajuru desa punya peranan khusus untuk kehidupan sosial budaya serta adat seperti contohnya mengurus upacara kematian warga misalnya, dimana kematian ‘kan tidak kenal waktu, cakupannya berbeda dengan Desa Administrasi,” tukasnya.
Diungkapkan Sugita pula, di tengah keterbatasan Desa Pekraman-nya juga mampu mengelola pasraman yang memberikan pendidikan kepada anak-anak desa setempat. “Kita meminjam tempat di wantilan desa setempat dan tenaga pengajarnya diisi para penyuluh Bahasa Bali, sepenuhnya secara sukarela alias ngayah,” ujar Sugita. “Jika diberikan alokasi anggaran alangkah baiknya tapi kita paham juga bahwa para pemimpin kita berpikirnya nasional, jika Bali data maka desa adat di daerah lain juga dapat,” lanjutnya.
Ditemui di tempat terpisah, Kelian Adat Desa Pakraman Sukasada, Kabupaten Buleleng Ketut Sumidra juga mengapresiasi langkah untuk melakukan penguatan terhadap desa pekraman atau desa adat di Bali, terlebih bila nantinya bisa mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. “Sebagai prajuru di Desa saya sangat memperhatikan perhatian Bapak Gubernur dalam upaya penguatan Desa adat di Bali terutama dari segi ekonominya. Selama ini kami di desa adat pembangunan dan penegelolaan kegiatan desa lebih banyak mengandalkan bansos dan andaikata bantuannya bisa ditingkatkan akan lebih baik,” kata Sumidra.
Ia mencontohkan, seperti program smart city yang mengalokasikan bantuan wi-fi gratis dampaknya sangat dirasakan di masyarakat terutama untuk anak-anak muda. “Sekarang jika kita lihat di desa Sukasada, wantilan selalu ramai dengan berbagai kegiatan, seni budaya dan sekaligus mendapatkan akses informasi yang mudah. Kalau semakin banyak titik wi-fi-nya saya kira akan semakin baik untuk masyarakat kita,” Pungkas Sumidra. (rls*/kb)