DenpasarSeni Budaya

Dirjen Hilmar: Bali Punya “Kekuatan” Pusat Seni Kontemporer Dunia

DENPASAR, Kilasbali.com – Direktur Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid berpandangan Bali memiliki “kekuatan” untuk menjadi pusat seni kontemporer dunia dan bisa diwujudkan dalam waktu yang tidak lama.

“Arsip perjalanan kesenian di Bali banyak sekali dan yang pasti buat saya ekspresi kontemporer ini akan semakin bertenaga kalau punya refleksi terhadap kondisi lokal kita, tradisi dan lingkungan hidup. Selain itu, hubungan sosial diantara manusia yang di Bali ini cukup unik, dunia semakin individual, tetapi kolektivitas masih terasa,” kata Hilmar Farid saat menjadi pembicara utama dalam Sarasehan bertajuk “Menuju Bali Pusat Seni Kontemporer Dunia” dalam rangkaian Festival Seni Bali Jani, di Denpasar, Rabu (6/11/2019).

Menurut Hilmar, dengan elemen-elemen atau dimensi yang dimiliki Bali tersebut dapat dijadikan dasar untuk memikirkan ekspresi seni kontemporer yang luar biasa. Selain itu, tidak sedikit seniman-seniman dari Indonesia dan Bali yang berkontribusi sangat besar merumuskan agenda seni kontemporer dunia.

Berbagai festival berskala internasional, lanjut Hilmar, pun telah banyak yang digelar di Pulau Dewata. Termasuk para pelaku seni dari Bali yang sudah menginternasional dan masyarakatnya sangat lekat dengan tradisi.

Baca Juga:  Hadirkan 120 Pengusaha UMKM di ICC Bali, BEDO Gelar MarketFind 2024: Small Batch Sourcing Expo

“Kalau begitu halnya, kenapa tidak dibawa ke sini? Kita punya kekuatan yang sangat besar,” ucapnya pada acara yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan budayawan, seniman, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat di Bali itu.

Bali, bagi Hilmar, bisa mewujudkan “mimpinya” menjadi pusat seni kontemporer dunia dalam kurun waktu sekitar lima tahun ke depan. Namun, ini tentu harus dibarengi dengan investasi di berbagai bidang, dari pemikiran, investasi memperkuat SDM, hingga kelembagaan.

“Kita memilih melaksanakan festival tidak boleh karena Pak Kun (Kadisbud Bali-red) sukanya ini, atau karena Pak Gubernur dan Pak Dirjen sukanya itu. Masyarakat Bali harus benar-benar mengenali apa yang dimiliki dan kemudian memperkuat,” ucapnya.

Hilmar pun menyoroti tidak sedikit festival seni budaya yang digelar di Pulau Dewata hanya terbatas meminjam tempat dengan nama Bali yang sudah mendunia. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah dan masyarakat Bali mulai membuka komunikasi dan berkolaborasi dengan berbagai festival seni kontemporer yang kerap dihelat di Pulau Dewata. “Kuncinya yang penting masyarakat harus terlibat, tumbuh dari bawah, bukan dicangkok dari atas,” tegasnya.

Baca Juga:  Magic Garden Lestarikan Keanekaragaman Hayati Nuanu Bali

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan “Kun” Adnyana mengemukakan pelaksanaan Festival Seni Bali Jani dari 26 Oktober-8 November 2019 ini menjadi jawaban atas etos kreatif atau ekosistem seni kontemporer atau seni modern yang sudah tumbuh dan hidup di masyarakat.

Pihaknya optimistis dapat merangkul banyak pihak untuk turut membangun keberadaan Festival Seni Bali Jani ini sehingga visinya yang sebelumnya hanya untuk Bali itu kemudian beranjak menjadi lebih luas menuju cakupan global.

“Dengan demikian platform adanya kolaborasi, kerja sama berbagai pihak atau sisi festival yang progresif bagaimana FSBJ bisa hidup karena memang masyaratnya membutuhkan,” ucapnya.

Di samping itu, Kun Adnyana yang akademisi ISI Denpasar itupun menandaskan helatan seni kontemporer dalam wadah Festival Seni Bali Jani tidak akan menggeser seni tradisional.

“Tidak menggeser seni tradisional karena kita memberikan wadah eksplorasi itu justru menunjuk pada karya-karya yang masih berbasis pengetahuan tradisi, objek karya seni tradisi untuk kemudian dieksplorasi. Jadi, ada transformasi, pengembangan, dan semacam campuran-campuran yang memungkinkan itu dilakukan dalam seni-seni kontemporer dan itu sudah hidup dalam teater modern, tari kontemporer dan gamelan kontemporer,” kata Kun Adnyana.

Baca Juga:  Kakarsana Akui Kemenangan Paket Aman

Dia menambahkan, dalam FSBJ sebanyak 1.692 seniman dihadirkan dalam 39 pergelaran. Itupun masih ada sejumlah seniman yang menyatakan masih banyak yang belum diakomodasi secara total.

“Tahun depan, kami harap ada sinergi yang lebih solid sehingga bisa lebih besar, semakin banyak seniman dan potensi yang ikut tumbuh bergerak menyambut baik FSBJ,” ucapnya.

Mengenai tema sarasehan “Menuju Bali Pusat Seni Kontemporer Dunia”, Kun Adnyana mengharapkan dapat dijadikan konsensus bersama, visi bersama seruan bersama karena Bali dari dulu di tengah perlintasan Asia Pasifik telah menjadi sentral bermukimnya dan bergaulnya seniman-seniman dunia.

Dalam sarasehan tersebut juga menghadirkan sejumlah pemateri yakni Putu Fajar Arcana (Editor Budaya Harian KOMPAS Jakarta) dengan materinya yang berjudul Para Penyihir dari Bali, Wayan Gde Yudane (Komponis) yang membawakan materi Strategi Pemanggungan Seni Pertunjukan (Gamelan Kontemporer) Kelas Dunia, I Nyoman Darma Putra (akademisi Universitas Udayana) dengan materi Tantangan dan Peluang Penerbitan Buku Sastra Bali Modern, dan Nyoman Nuarta (pematung) dengan materinya Kini yang Sementara, yang Selalu Ada.(jus/kb)

Back to top button

Berita ini dilindungi