TABANAN, Kilasbali.com – Sosialisasi tentang bentuk-bentuk kekerasan dan cara pencegahannya harus terus dilakukan, hal ini dimaksudkan agar masyarakat khususnya perempuan jadi lebih mengetahui dan menyadari bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Juga mengingat pentingnya membangun kesadaran bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan social, bukan individual, juga dapat mendorong korban untuk berani mempersoalkan kasusnya, serta mengupayakan jalan untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan tersebut, yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Demikian disampaikan Ketua Forum Komunikasi Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Forkomwil Puspa) Provinsi Bali Tjok Putri Hariyani Ardhana Sukawati pada Kegiatan Launching Komunitas Inisiator Desa Wisata di Gedung Serba Guna, Desa Penatahan, Penebel, Tabanan, Selasa (19/11/2019).
Menurut Tjok Putri Hariyani, bentuk-bentuk kekerasan yang manifestasi dalam KDRT keluarga Bali beraneka ragam. Tiga bentuk yang paling umum adalah, kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik.
“Sebenarnya dalam sistem keluarga dan kekerabatan orang Bali juga memiliki seperangkat kearifan untuk mengendalikan aneka kekerasan dalam rumah tangga,” ujarnya.
Kearifan tersebut, kata dia, antara lain kearifan ritual (upacara bersama), kearifan social melalui hubungan integratif keluarga luas sampai sistem klan, kearifan kultural melalui referensi teks melalui mulat sarira, tatwam asi, menyama braya, tri hita karana, sampai dengan sistem konsultasi kepada tokoh senior, tokoh adat, dan tokoh agama seperti sulinggih.
Lebih lanjut dikatakan Tjok Putri Hariyani, dalam persfektif rwabineda (dualistik), kedamaian dan kekerasan adalah dua sisi berlawanan dari satu mata uang, satu sistem kehidupan yang dinamik. hidup dalam kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan adalah satu cita-cita, das sollen. Sebaliknya hidup dalam kekerasan adalah hidup tanpa makna.
“Memang diharapkan agar pada akhirnya mereka mempunyai keberanian mengungkapkannya hal ini tidak terlepas dari kampanye pencegahan tindak kekerasan dan UU PKDRT yang terus di kumandangkan. Saya menyambut baik upaya-upaya kearah ini dilakukan yang juga sejalan dengan apa yang dilakukan oleh LBH BALI WCC sebagai sebuah lembaga yang konsen terhadap perempuan dan anak khususnya korban kekerasan, Untuk Banjar Kekeran, Desa Penatahan, Penebel, Tabanan-Bali. Dimana saat ini melakukan upaya yang menjadi target kedepan berkembang desa wisata dan menjadi percontohan tentang pengelolaan sumber daya lokal dengan melibatkan seluruh elemen warga termasuk perempuan dan remaja,” ujarnya.
Ia berharap program desa wisata dapat mengatasi beberapa permasalahan yang ditemukan, antara lain: Permasalahan kekerasan antar remaja di desa terhitung signifikan.
“Beberapa kasus kekerasan terjadi, seperti perkelahian atau tawuran antar remaja, yang apabila tidak ditangani atau diantisipasi akan menyebabkan potensi kasus-kasus kriminalitas di kalangan remaja semakin tinggi dan menjadikan situasi tidak aman di masyarakat. Pelibatan kalangan remaja sudah terbukti memberikan kontribusi yang sangat penting dalam aktivitas-aktivitas masyarakat secara komunal,” terangnya.
Selain itu, permasalahan potensi alih fungsi lahan terkait industri besar pariwisata telah tampak belakangan ini. Aktivitas pariwisata yang tidak bertanggungjawab, banyak mengenyampingkan aspek lingkungan, seperti limbah yang dihasilkan dan pencemaran lingkungan.
“Warga desa dapat mengelola dan mempromosikan pariwisata desa secara local dengan pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah tersedia termasuk memberikan akses kepada perempuan dan remaja untuk terlibat kedalam program desa wisata dalam hal pembuatan keputusan dan pengembangan kegiatan ekonomi kreatif dalam mendukung program,” ungkapnya.
Ditambahkannya, permasalahan terbatasnya lapangan pekerjaan di tingkat desa menyebabkan generasi muda atau remaja dan perempuan lebih mencari pekerjaan keluar desa atau kekota. Dengan adanya program desa wisata akan dapat membantu dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi para perempuan dan remaja.
“Bekerja di luar desa atau kekota, terutama bagi perempuan dan remaja, tidak serta merta membawa dampak peningkatan taraf hidup maupun sisi ekonomi untuk membantu penghidupan keluarga, misalnya jika dilihat dari kompensasi atau upah yang tidak layak dari pekerjaan. Kaum perempuan dan remaja justru berhadapan dengan kerentanan dan potensi kekerasan, seperti kekerasan di dalam lingkungan kerja (secara structural bahkan bisa secara fisik maupun seksual), human trafficking, dan lainnya. Program desa wisata akan memberikan ruang-ruang akses bagi pemberdayaan melalui lapangan pekerjaan dan peningkatan kapasitas perempuan untuk dapat mengatasi kesenjangan di dalam masyarakat dan upaya mitigasi kekerasan,” imbuhnya.
Maka progam Pengembangan Wisata Berbasis Komunitas untuk Kesejahteraan dan Kemandirian Perempuan dan Remaja dalam Pencapaian Three Ends diharapkan dapat menjadi upaya pemberdayaan sekaligus mitigasi kekerasan untuk membangun kemandirian serta meningkatkan kesejateraan terutama bagi perempuan dan remaja di wilayah setempat, yang secara sinergis juga menjadi upaya dalam mencapai tujuan dari program Three Ends dari KPPPA, dan sejalan juga dalam kerja-kerja Forkomwil Puspa Provinsi Bali. (rls/kb)