DENPASAR, Kilasbali.com – Harga cabai yang pelan-pelan merangkak naik menjadi berkah tersendiri bagi para petani. Petani cabai kini bisa tersenyum sumrigah, karena komoditi bumbu dapur ini harganya semakin mahal.
Informasi menyebutkan, kenaikkan terjadi sejak hari pergantian tahun. Awalnya, komoditi ini dihargai Rp40 ribu per kilogram jelang pergantian tahun, kemudian terus merangkak naik pelan tapi pasti. Dan kini, “si pedas” inipun dihargai hingga Rp100 ribu per kilogram di sejumlah warung-warung.
Kepala Dinas Perdangan dan Perindustrian Provinsi Bali, Wayan Jarta tak menampik tentang kenaikan harga cabai ini. Menurutnya, kenaikkan ini dipicu produksi cabai di tingkat petani yang kurang maksimal akibat musim hujan yang menyebabkan tanaman cabai terkena penyakit sehingga berpengaruh terhadap produksi.
Dikatakannya, dari hasil monitoring petugasnya yang turun ke lapangan, harga cabai di tingkat produsen berkisar Rp75 ribu (cabai di Taro), dan sesampainya di pasar, harga cabai di sekitaran Rp80 – 90 ribu, sehingga di warung -warung harganya berkisar Rp100 ribu.
“Yang jelas, saya lihat tidak ada penimbunan. Kenaikan ini dipicu oleh sentiment pasar yang seenaknya menaikkan harga. Begitu mendengar harga cabai naik, para pedagang serentak ikut-ikutan menaikkan harga,” kata Jarta di Denpasar, Rabu (22/1/2020).
Disinggung terkait upaya untuk menstabilkan harga, pihaknya mengaku akan segera melakukan oprasi pasar di awal Pebruari 2020 atau menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan.
“Harapan kita, masyarakat mengurangi mengkomsusmi cabai, atau dengan beralih dengan yang olahan cabai kering. Saya yakin para pengusaha makanan sudah melakukannya, yakni mengurangi cabai segar dan menggunakan cabai olahan,” jelasnya.
Jarta menambahkan tren kenaikan harga cabai ini terjadi di seluruh Indonesia akibat musim hujan.
“Jadi yang namanya tanaman holtikultural seperti cabai, sayuran sangat rentan terhadap musim hujan yang menyebabkan tingkat produktivitasnya turun. Mengingat petani kita masih tradisional,”bebernya.
Ditemui di tempat terpisah, Dinas dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali melalui Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultural, Wayan Sunarta mengatakan hal senada dengan Disperindag Bali. Kenaikan harga cabai dipicu faktor cuaca.
Menurutnya, musim kemarau mundur dan musim penghujan baru terjadi pada bulan Desember kemarin. Sehingga pola tanam menjadi bergeser, yang seharusnya bulan September-November musim tanam dan Desember sudah mulai panen.
“Kalau cabai mahal, petani kita kan bersyukur. Karena harganya bisa terangkat,” ujar Sunarta.
Sunarta menjelaskan bahwa masalah cabai di Indonesia sendiri adalah masalah klasik yang susah diatur, dan sensitif terhadap inflasi.
“Jalan keluar untuk masalah cabai itu seharusnya pola komsumsi yang berubah. Yakni tidak lagi menggunakan cabai segar dalam mengolah masakan, melainkan menggunakan cabai olahan, baik itu cabai kering maupun cabai bubuk. Pedasnya juga sama,” pungkasnya. (jus/kb)