SINGARAJA, Kilasbali.com — Tim Satuan Tugas (satgas) mafia tanah Kejaksaan Agung (Kejagung) RI turun langsung ke Desa/Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali.
Satgas Kejagung turun langsung bersama Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Buleleng, Putu Gede Astawa ke lahan rencana pembangunan Bandara Bali Utara di Bukit Teletubis, Kamis (10/2).
Nah, kasus dugaan adanya mafia tanah rencana Bandara Bali Utara di atas lahan Duwen Pura Desa Adat Kubutambahan, mencuat paska krama adat Kubutambahan yang tergabung dalam Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) sebelumnya menyurati Presiden RI Joko Widodo.
Kompada melayangkan surat pengaduan kepada Presiden RI dikirim pada 4 November 2021 lalu. Isi surat itu disebutkan, jika diduga ada mafia tanah yang menghambat proyek strategis nasional pembangunan Bandara Bali Utara yang sebelumnya direncanakan dilakukan di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan.
Ketua Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Ketut Ngurah Mahkota memaparkan, kepada pihak Kejaksaan Agung, pihaknya menyampaikan terkait perpanjangan sewa lahan duwen pura seluas 370 hektar yang terjadi pada 2012 lalu, kepada pihak PT Pinang Propertindo.
Di mana, dalam perjanjian sewa itu, ada klausul perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, dan sampai waktu yang tidak terbatas.
Tak pelak, perjanjian membuat pihak Kompada keberatan. Sebab, keputusan tersebut tidak melalui paruman, dan tidak berdasarkan persetujuan masyarakat.
Imbuh Mahkota, Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Warkadea menggunakan tanda tangan dari daftar hadir paruman yang diselenggarakan pada bulan Juni beberapa tahun lalu.
“Kami tidak pernah menandatangani persetujuan perpanjangan sewa itu. Kami menduga tanda tangan yang digunakan oleh Warkadea itu adalah tanda tangan dari daftar hadir paruman yang biasa dilakukan tiap bulan. Karena ada satu daftar hadir yang dilakukan pada bulan Juni yang hilang,” jelasnya.
Selain itu, Mahkota menyebut, sejak lahan duwen pura disewakan, PT Pinang Propertindo, sama sekali tidak melakukan pembangunan di atas lahan tersebut. Sehingga pihaknya menilai PT Pinang Propertindo hanya membutuhkan SHGB, yang kemudian sertifikatnya dijaminkan ke bank senilai Rp1,2 Triliun.
“Cara ini menurut kami mengerikan sekali. Kami ingin agar perjanjian itu dibatalkan. Pada perjanjian 2001 itu sebenarnya sah. Lahan disewakan hingga 2031, ditandatangani oleh niotaris. Tapi 2012 sewa kembali diperpanjang hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Dalam klausul juga dinyatakan bahwa investor harus membayar royalti 5 tahun sejak tanda tangan kontrak. Apabila terlambat, dikenakan bunga 3 persen per bulan. Sementara sejak 2006 royalti tidak dibayar, jadi ini kami anggap wanprestasi. Perjanjian batal demi hukum,” terangnya.
Terpisah, Jero Pasek Warkadea tidak menampik sempat dimintai klarifikasi oleh pihak Kejaksaan Agung beberapa hari lalu, di Kantor Kejari Buleleng.
Jro Warkadea menyebut, dimintai keterangan terkait adanya laporan rencana pembangunan bandara di Kubutambahan gagal lantaran ditengarai adanya mafia tanah.
Meski begitu, Warkadea menegaskan jika gagalnya pembangunan bandara di Desa Kubutambahan terjadi bukan karena adanya mafia tanah, melainkan belum adanya titik temu dari mediasi yang dilakukan pemerintah dengan pihak PT Pinang Propertindo.
Soal paruman, Jro Warkadea menyebut pihaknya telah melaksanakan paruman desa yang dihadiri oleh Tim Ahli Gubernur Bali dan Wakil Bupati beberapa waktu lalu.
Dalam paruman itu, pihaknya sepakat untuk menyerahkan pemanfaatan lahan, agar digunakan sebagai lokasi pembangunan bandara. Dalam klausulnya, pihaknya juga menyerahkan kuasa kepada Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng untuk memediasi pihak PT Pinang, mengingat lahan tersebut sudah terlanjur disewakan. Bila terjadi gugatan, maka Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus memfasilitasi, memberikan dukungan kepada Desa Adat Kubutambahan.
“Sudah sepakat, kami lantas menyerahkan sertifikat asli lahan duwen pura di Jayasaba. Lalu penandatanganan di hadapan notaris.
Isinya terkait memberikan tanah duwen pura untuk dimanfaatkan sebagai bandara. Namun, setelah itu ada Covid-19, hingga proses penyerahan pemanfaatan lahan macet. Ya, sampai saat ini pemerintah tidak pernah melakukan mediasi dengan PT Pinang,” ungkapnya.
Terkait rencana pembangunan bandara dinyatakan masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN) ada dua opsi yang diberikan. Pertama, lahan duwen pura akan diganti dengan uang senilai Rp 50 Miliar. Kedua, diganti dengan tanah yang lain (tukar guling).
“Kami menolak, karena statusnya dilepas jadi tanah negara. Kenapa begitu? Karena kami berpendapat merubah status lahan itu sebagai kutukan. Kami harus mempertanggungjawabkan tanah duwen pura,” tegasnya.
Sementara Humas sekaligus Kasi Intel Kejari Buleleng Anak Agung Jayalantara membenarkan jika Kejaksaan Agung meminjam tempat di Kejari Buleleng untuk memintai klarifikasi sejumlah orang, terkait masalah lahan duwen pura Desa Adat Kubutambahan.
“Saya tidak bisa berkomentar, karena ranahnya ada di Kejaksaan Agung. Pihak Kejaksaan Agung hanya meminjam tempat di Kejari Buleleng,” singkat Jayalantara.
Sebelumnya, pada Rabu 9 Februari 2022 kemarin, Kejaksaan Agung telah memeriksa sejumlah orang, untuk dimintai klarifikasi terkait laporan yang dilayangkan oleh Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan.
Pun, Kejaksaan Negeri Buleleng dan Kejaksaan Agung memeriksa Perbekel Kubutambahan Gede Pariadnyana, serta beberapa warga yang tergabung dalam Kompada Kubutambahan.
Pemeriksaan yang dilakukan mulai pagi hingga siang, dilakukan secara tertutup dari media. (ard/kb)