BulelengNews UpdatePeristiwaPolitik

Curhat ke Dewan, Sopir Minta UU LLAJ Ditinjau Ulang

    SINGARAJA, Kilasbali.com – Sejumlah sopir angkutan barang yang tergabung dalam Buleleng Driver Organization (Buldog) kembali mendatangi DPRD Buleleng. Mereka menyampaikan aspirasi langsung di hadapan Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna.

    Terhitung, 10 orang pengemudi yang mendatangi DPRD Buleleng pada Rabu (16/3) pagi. Mereka berasal dari berbagai komunitas. Diantaranya Pasemetonan Sopir Truk Buleleng (PSTB) Bali, Ake Buleleng, Persatuan Pengemudi Truk Indonesia (PPTI) Bali, Persatuan Sopir Truk Indonesia (PSTI) Bali, dan Korwil Singa Sakti. Kedatangan mereka dikawal Dinas Perhubungan Buleleng.

    Koordinator Aksi, Gede Sudarsana Udayana meminta agar pemerintah meninjau kembali Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ). Menurutnya Undang-Undang itu sangat berpihak kepada para sopir. Karena menjamin keamanan saat berkendara, usia jalan, serta kondisi berkendaraan.

    Hanya saja penerapan aturan secara kaku, akan memberikan dampak sistemik. Terutama yang terkait dengan harga barang.

    Baca Juga:  Koster Nostalgia dengan Pelabuhan Segitiga Emas, Prioritas Jalan, Air, dan Jembatan untuk Warga

    “Jujur saya mendukung aturan ini. Karena saya lebih aman dan nyaman saat bawa barang,” katanya.

    Sudarsana menuturkan, selama ini sopir angkutan yang melayani jurusan Surabaya-Bali, hanya menerima ongkos angkut sebanyak Rp 200 ribu per ton. Biasanya Sudarsana mengangkut beban hingga 10 ton. Padahal kendaraan milik Sudarsana, idealnya hanya mengangkut 5 ton saja.

    Menurutnya bila mengangkut sesuai tonase, ongkos yang diterima tidak mampu menutupi beban operasional.

    Baca Juga:  Koster-Giri akan Bangun Sports Center Bali di Bangli, jadi Pusat Olahraga, Pendidikan dan Kesehatan

     

    “Kalau hanya angkut 5 ton, saya hanya dapat Rp 1 juta. Sedangkan ongkos bensin, saya habis Rp 900 ribu, ongkos penyeberangan Rp 550 ribu. Belum lagi untuk makan di jalan. Itu sudah nyata tidak menutup operasional,” ujar Sudarsana.

    Idealnya para sopir menerima ongkos Rp 2 juta sekali jalan. Itu berarti biaya angkut harus dinaikkan dari Rp 200 ribu per ton, menjadi Rp 400 ribu per ton. Sementara bila biaya angkut dinaikkan, otomatis kenaikan itu akan dibebankan pada pembeli. Praktis harga barang akan melonjak.

    “Ini yang tidak dipikirkan bapak-bapak pemerintah. Kami sepakat sama aturan itu. Cuma tolong dipikirkan dampaknya. Kami harap pemerintah bisa bijak dan lebih adil terkait aturan ini,” katanya.

    Baca Juga:  Mulyadi-Ardika Simakrama di Banjar Panti dan Pastikan Realisasi Satu Dokter Satu Desa

    Sementara, Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna mengaku dapat memahami para sopir. Supriatna mengatakan kebijakan over dimension dan over load (ODOL) akan berdampak sistemik. Terutama dari sisi ekonomi.

    “Kalau UU diterapkan tegas dan kaku, akan berdampak secara ekonomi. Yang nyata harga barang akan lebih tinggi. Kami akan tindaklanjuti aspirasi para sopir ini pada pemerintah pusat. Supaya dapat dipertimbangkan dari berbagai aspek,” singkatnya. (ard/kb)

    Back to top button