GianyarSosial

Upaya Penurunan Prevalensi Stunting di Bali

    GIANYAR, Kilasbali.com – Upaya penurunan prevalensi stunting, khususnya di Provinsi Bali terus dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Komisi IX DPR RI.

    Kali ini menyasar para pelajar dari SMAN 1 Gianyar, SMKN 3 Sukawati, SMAN 1 Blahbatuh dan remaja Singapadu sebagai PIK Jalur Masyarakat bertempat di Balai Budaya Batubulan, Sukawati, Gianyar, Sabtu (10/12).

    Dalam kegiatan bertema “Pencegahan Stunting dari Hulu dan Edukasi PKBR: Tentang Kita #berani, beraksi #berkolaborasi” itu, Kepala Perwakilan BKKBN Bali dr. Ni Luh Gede Sukardiasih, M.For., MARS., mengaku sengaja menyasar kaum remaja yang notabene “pabrik” sumber daya manusia ke depan. PKBR adalah Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja.

    “Anak-anak (peserta-red) adalah pabrik yang melahirkan generasi penerus. Jadi tergantung komitmen masing-masing. Kalau pabriknya bagus, Indonesia emas akan terwujud, tapi kalau pabriknya buruk, generasi apa yang akan diberikan untuk hadiah Kemerdekaan RI ke 100 tahun,” kata pemilik sapaan akrab dr. Luh De.

    Baca Juga:  Masuk Bursa Cabup Tabanan, Ngurah Panji Tunggu Instruksi Partai

    Stunting, kata dr. Luh De, bukanlah sebuah penyakit, apalagi penyakit genetik. Contohnya, calon pengantin yang bertubuh pendek belum tentu menghasilkan anak pendek. Semua tergantung intervensi yang dilakukan dari hulu. “Hulu ini artinya di awal. Makanya sangat penting kegiatan ini bagi anak-anak,” tegasnya.

    Birokrat asal Tabanan ini menambahkan, 50 persen kasus stunting dipicu faktor tidak langsung, seperti pola asuh, ekonomi, pendidikan dan sanitasi. Sebagian lagi adalah faktor langsung.

    Sehingga dr. Luh De mewanti-wanti meminta remaja memerhatikan makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Sebisa mungkin ia menyarankan agar meminimalisir mengonsumsi makan instan.

    Baca Juga:  Karena Ini KPU Belum Umumkan Caleg Lolos

    Anggota Komisi IX DPR RI I Ketut Kariyasa Adnyana mendukung kegiatan yang menyasar remaja ini. Sebab, berdasarkan pantauannya di lapangan, ada sebuah desa di Buleleng yang 24 bayi terindikasi stunting.

    “Setelah saya dalami, sebagian besar anak stunting itu dilahirkan dari orangtua yang nikah dini. Entah kecelakaan atau gimana,” jelas Kariyasa.

    Efek negatif pernikahan dini, lanjut Kariyasa, adalah ketidaksiapan mental. Ini akan berakibat sering cekcok dengan pasangan sehingga anak tidak terurus, selai organ reproduksi yang belum siap pula.

    Baca Juga:  Sekda Bali Tekankan Satpol Pendekatan Humanis dalam Menegakkan Peraturan

    Ia pun mengingatkan, BKKBN sebagai mitra Komisi IX untuk bekerja keras mencapai target pemerintah menurunkan stunting menjadi 14 persen secara nasional yang saat ini masih 24,4 persen. Angka yang parah menurut Kariyasa.

    Sedangkan di Bali, ditargetkan mendekati zero stunting. Legislator asal Busungbiu, Buleleng ini merasa optimis Bali akan mencapai target. Contohnya di Gianyar, sudah berhasil mencapai 5 persen. Gianyar pun menjadi kabupaten dengan prevalensi stunting terendah di Provinsi Bali. (eka/kb)

    Back to top button

    Berita ini dilindungi