DenpasarSeni Budaya

Wayang Cupak, Banyak Lontar Dihanguskan

    DENPASAR, Kilasbali.com -Kriyaloka (Lokakarya) Wayang Cupak serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV mirip sebuah pertunjukan seni. Narasumber, I Ketut Wibawa, S.Sn berhasil memikat hati penonton dengan materi-materi yang tak hanya menuntun, tetapi juga lucu.

    Mesti berdiri sendiri di tengah Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, tetapi pria kelahiran, Mambang 8 Juli 1974 ini mampu mengajak penonton untuk ikut aktif. Suasana tak terasa kaku, bahkan sangat cair. “Saya ingin berbagi pengalaman, bukan menggurui,” kata Wibawa berkali-kali kepada para peserta lokakarya, Kamis (29/6/2023).

    Sebagai Dalang Cupak Dukuh Pulu, Wibawa merupakan generasi ke 3, setelah I Wayan Wetra (ayahnya) sebagai generasi ke 2 dan I Made Jingga (kakeknya) merupakan generasi ke 1. Pada kesempatan itu, mantan HRM Novotel Bali Benoa ini berbagi mengenai kesenian Wayang Cupak khususnya style Dukuh Pulu Tabanan yang diturunkan oleh leluhurnya. “Wayang Cupak Dukuh Pulu terkenal di masa kakek sekitar tahun 60-an, lalu kakek meninggal karena Gestok 1965,” ungkapnya.

    Wibawa mengawali materinya dengan memaparkan dirinya yang sejak kecil sudah mulai tertarik dengan seni pewayangan. Hal itu dibuktikannya kuliah pada kampus seni STSI Denpasar (ISI kini) memilih Jurusan Pedalangan. Setelah tamat tahun 1998, ia minta petunjuk kepada Bhatara Hyang Guru. Karena tak ada yang mengundang untuk pentas, makanya melamar menjadi pegawai hotel, entertainment Manager.

    Setelah ayahnya meninggal, Wibawa baru merasa serius menekuni seni pewayangan. Sebelumnya ia tak pernah konsentrasi ketika dilatih ayahnya memainkan wayang warisan leluhurnya itu. Kebetulan juga Covid-19, sehingga dihadapkan kepada dua pilihan tetap di hotel atau meneruskan profesi leluhur menjadi dalang. “Saya merenung lalu mencari lontar walau itu berbentuk copy. Lontar-lontar dulu dibakar bersama kematian kakek di jaman Gestapu itu,” imbuhnya.

    Baca Juga:  Satpol PP Bali Gencar Sosialisasikan Perda 9/2000

    Sebelum melakukan semua itu, ia sendiri mencari mempelajari, siapa Cupak, kenapa di rumahnya ada wayang cupak dan di desanya ada Pura Cupak. Setelah ditelusuri, Cupak berasal dari Majelangu, dan ada Jambe Langu ada di Bolangan, sebuah pura memohon kerahayuan kalau mementaskan Cupak. Kalau melukat Cupak itu, maka menghidupkan sastra dalam diri. Kalau tidak sesuai, maka kemungkinan sifat Cupak yang jelek itu masuk ke orang yang dilukat itu. “Cupak itu adalah diri kita sendiri. Sebab manusia itu tak ada yang bersih, tentunya punya salah, seperti Cupak,” ujarnya.

    Dalam lokakarya yang diikuti mahasiswa ISI Denpasar, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Universitas Hindu Indonesia, siswa SMKN 5 Denpasar, siswa SMKN 3 Sukawati Gianyar itu, Wibawa juga memperkenalkan tembang Cupak yakni Ginada Jambe Negara. Peserta juga diajak matembang yang sebelumnbya dibagikan catatan. Lalu mengajarkan ketawa khas Cupak serta meditasi Cupak.

    Meditasi Cupak, peserta diajak duduk tenang dan rilek, lalu membayangkan orang yang tidak disukai lalu diberikan senyuman, lalu bernafas panjang selanjutnya ketawa. Meditasi ini sederhana, tetapi susah melakulan. “Karena setelah ketemu orangnya, kita menyapa orang yang tak disukai,” ujarnya.

    Baca Juga:  PKN Cetak Pemimpin Tangguh

    Menurutnya, sebagai dalang Cupak harus mampu menyeimbangkan tubuh sendiri. Itu dilakukan karena akan melukat orang, sehingga tak sifat buruk yang masuk ke orang itu. Kalau menari cupak harus balance. Satu lagi kekhasan Wayang Cupak Dukuh Pulu pada penekanan kata di bagian terakhir. Khas banten harus memakai semat bukan streples. Fungsi semat itu menyatukan buana agung dan alit. Cupak itu simbol rwa bineda.

    Saat memainkan wayang, ia juga biasa mengundang leak, tetapi untuk nadah (makan) caru. Cupak Dukuh Pulu biasa mengundang leak, tetapi kalau tidak ada suguhan makan tidak akan mengundangnya. Caru itu ada di perempatan dan di tempat pentas. “Kalau membuat tirta penglukatan diawal di pancoran wesi, pancoran tembaga, pancoran slaka, pancoran emas, dan pancoran mancawarna,” kata pembuat Wayang Rare yang pentas di hotel-hotel ini.

    Apa yang disampaikan Wibawa mengundang reaksi dari peserta. Ketika seorang ibu tua menanyakan untuk pengruwatan Sapuleger apa sama dengan penglukatan Cupak. Loleng dalang dari Pejeng menanyakan kenapa mengangkat wayang cupak, bagaimana meneruskannya agar wayang ini lestari, kenapa namanya Wayang Cupak bukan Gerantang. Dalang asal Denpasar I Gst Agung Surya Wikrama menanyakan siapa saja orang yang boleh dilukat Cupak, apa penglukantan Wayang Cupak saja atau ikut wayang yang lain? Semantara Jero Dalang Joniartawan asal Taro Tegalalang nama-nama dari tokoh yang ada dalam pewayangan Cupak.

    Prof Wayan Dibia mengucapkan terima kasih kepada Wibawa yang masih melestarikan Wayang Cupak dan mau berbagai hari ini. Dari pertanyaan tadi, menjadi bahan untuk PKB selanjutnya apakah Wayang Cupak perlu diparadekan atau dilombakan. Melihat jalan cerita Cupak memiliki dua karakter, yakni antagonis dan protagonis, sehingga disebut Wayang Cupak bukan Wayang Gerantang. Cupak menjadi peran sentral, belum lagi warna suara yang dilakukan sangat khas.

    Baca Juga:  Luncurkan ‘Pil Sakti’, Mahendra Jaya Beberkan Ini

    Untuk parade Wayang Cupak, mungkin ya dan tidak. Ini menjadi catatan tim kurator kedepan. Dirinya mengaku bangga, Wibawa bisa menampilkan wayang cupak yang menjadi warisan leluhurnya. “Saya senang Wayang Cupak masih ada yang meneruskan, jangan sampai wayang cupak meredup. Semoga nantinya bisa populer. Mudah-mudah dalang cupak bisa naik,” harapnya.

    Prof Dibia mengatakan, Wayang Cupak ini ditampilkan untuk memberikan ruang bagi anak-anak muda. Dengan menampilkan dalang Cupak dalam materi PKB, dengan harapan banyak yang tertarik dengan Wayang Cupak. “Nanti kita panggil apa parade, apa lomba. Pencinta seni sangat perlu mendapat tontonan dalang Cupak, dan tak terhenti sampai disini,” harapnya.

    Dirinya mengaku senang dengan antosias masyarakat yang mengikuti lokakarya ini. Ini salah satu seni langka dihadiri banyak dalang muda, nantinya akan ada gagasan setelah mereka pulang. “Saya berterima kasih pada Dinas Kebudayaan yang madih ingat dengan dalang Cupak Dukuh Pulu. Semoga ini bisa memperkaya dalang yang lain,” harap Wibawa. (rl/kb)

    Back to top button