DENPASAR, Kilasbali.com – Konsep ngayah pada garapan seni tradisi tak hanya berada di Bali, namun Jepang juga memiliki konsep ngayah dalam berkesenian. “Ibaratnya seperti ngayah di Bali, kita menari dihadapan dewa dan leluhur, jadi sangat ada kemiripan,” tutur Anak Agung Gde Tugus Adi Iswara Mandera yang tampak tak payah mondar-mandir Gedung Ksirarnawa Taman Budaya, Denpasar.
Mengkoordinir kurang lebih 200 orang penari membuat Anak Agung Gde Tugus Adi Iswara Mandera semakin mendalami filosofi ngayah. Selaku koordinator garapan Project Sakura Go dari Yayasan Persahabatan Jepang Bali, membikin niat Tugus menggali esensi ngayah terhadap tradisi di Jepang kian membuncah.
“Jadi ini berawal karena adanya perayaan kerjasama antara Jepang dan Bali, lalu disepakatilah Tari Yosakoi sebagai simbol perayaan ini,” jelas Tugus.
Menurut penuturan pria berdarah Jepang Bali ini, Tari Yosakoi yang ditampilkan pada Sabtu, 22 Juni 2019 dalam PKB tahun 2019 memang sedikit berbeda dengan Tari Yosakoi pada umumnya. Ada nafas Bali dalam Tari Yosakoi yang digarap Tugus dengan tujuan agar tercipta sebuah kolaborasi nan serasi.
Secara umum tarian ini ditampilkan saat perayaan musim panas di Jepang. Tari Yosakoi merupakan tarian massal yang membutuhkan banyak penari berpakaian khas Jepang berupa happi dan Yukata nan berwarna-warni.
Keputusan Tugus menggabungkan pakem tari Bali ke dalam Tari Yosakoi karena dirinya melihat kesamaan tujuan dan filosofis baik tari Bali maupun Yosakoi. Kesamaan konsep ngayah yang dimaknai sebagai persembahan tulus-ikhlas kepada para dewa dan leluhurlah yang menjadi landasan Tugus menyatukan kedua pakem yang berbeda tersebut.
Belumlah tepat pukul 19.30 wita, kursi merah yang terhampar di Gedung Ksirarnawa sudah terisi penuh. Sehingga para penonton yang tak kebagian kursi, harus rela berdiri hingga akhir pementasan.
Tari Yosakoi terbagi atas tiga babak. Babak pertama yakni aktraksi Dewa Angin, kedua atraksi Dewa Petir (Kaminari), dan ketiga atraksi Dewi Matahari. Ketiga atraksi tersebut memiliki sub atraksi. Dimana atraksi pertama Dewa Angin diisi sub atraksi yang dipersembahkan oleh SMAN 1 Ubud bertajuk Alunan Angin, Politeknik Negeri Bali dengan garapan bertajuk Irama Angin, dan SMAN 8 Denpasar dengan garapan bertajuk Semilir Angin Bumi.
Atraksi kedua yang merupakan persembahan untuk Dewa Petir (Kaminari), terbagi pula atas 3 sub atraksi yaitu SMA Saraswati Klungkung dengan garapan bertajuk Gemuruh Petir, SMKN 5 Denpasar yang membawakan garapan Cambuk Api Petir, dan garapan Hujan Petir dibawakan oleh Grup Shooting Star. Atraksi terakhir yang dimiliki Dewi Matahari dan jajaran, diisi oleh STIBA Sataswati Denpasar dengan garapan berjudul Cahaya Matahari, Garapan Semangat Matahari dibawakan oleh Universitas Udayana, sebagai penutup muncullah garapan Sinar Indah Matahari dari SMAN 1 Ubud yang diakhiri dengan gerakan atraktif dan dinamis dari setiap sub atraksi sembari membunyikan naruko (perkusi dari kayu) secara bersamaan.
Keterlibatan sekolah maupun universitas di Bali merupakan sebuah bentuk persahabatan antara Bali dan Jepang. Dari sekolah dasar hingga bangku kuliah adalah anak-anak terpilih yang menyenangi budaya dari negeri sakura. Meski sempat kesulitan mengajarkan pakem Tari Yosakoi, namun Tugus tak pernah lelah demi suksesnya garapan malam itu.
“Kita ingin memperluas budaya ini agar semuanya bisa tahu budaya Jepang, sehingga ini membuka wawasan mereka bahwa budaya itu kaya dan banyak cara untuk mengenalnya tidak hanya dari tariannya saja,” tutup Tugus mengujar harap. (rls/kb)