DenpasarSeni Budaya

Teater Mini Badung Persembahkan “Sumpah Rama Parasu”

    DENPASAR, Kilasbali.com – Masih ingat dengan Teater Mini Badung dengan Drama Klasik-nya yang khas? Teater yang terkenal ditahun 80-an dan 90-an itu masih memiliki penggemar. Buktinya, ketika tampil di Gedung Ksirarnawa dalam ajang Festival Seni Bali Jani, Senin (2/11/2019) teater yang disutradarai Ida Bagus Anom Ranuara itu sukses menggaet penonton.

    Gedung pertunjukan tergolong mewah dan elit dengan kapasitas sekitar 525 tempat duduk itu, hampir tidak ada yang kosong. Para orang tua jelas ingin bernostalgia, sementara yang muda hanya duduk manis.
    Saat itu, Teater Mini Badung yang kini menjadi Teater Mini Bali menyajikan drama klasik berjudul “Sumpah Rama Parasu”.

    Ceritanya mungkin lama, tetapi masih sangat relevan diaktualisasikan di jaman sekarang. “Hulunya kan jaman dulu. Lalu bagaimana caranya menyajikan, agar bisa hidup dan diterima oleh generasi sekarang, sebagai teben, hilirnya. Yang lama itu bukan sudah dianggap hilang, melainkan bisa diterjemahkan ke dalam kehidupan sekarang,” kata Ida Bagus Anom Ranuara yang juga penulis naskah.

    “Sumpah Rama Parasu” merupakan ceritera lama itu yang diangkat kembali dengan kemasan baru. memiliki nilai-nilai yang bisa diteladani dan memotivasi anak-anak di jaman sekarang ini. Drama ini menggunakan music iringan Gender Wayang, Semarapagulingan, Suling dan cengceng yang dapat memberikan ketegasan dalam suasana adegan.

    Baca Juga:  Lewat Kolaborasi Lokal dan Internasional Perdana, Syrco BASÈ Gelar 'Collection I'

    “Musik iringannya masih tradisi, tetapi iramanya tidak seperti tari. Melainkan iringan drama kontemporrer, karena ilustrasi music mengikuti karakter dan situasi,” papar Anom Ranuara.

    Sajian Teater Mini Badung ini jelas mengingatkan lagi, apasih kritik, saran dan petuah yang disajikan lewat pertunjukan Drama Klasik itu. Namun, yang pasti nilai-nilai dan pesan moral menjadi hal utama dalam penyajiannya. Drama ini juga dikemas dengan santai, sehingga adegan lucu atau kalimat-kalimat humor juga sering terlontar dari para pemain. Karena itu, sajian teater dibawah Pimpinan Ida Bagus Purwasila dengan 16 pendukung itu disaksikan penonton hingga akhir pementasan.

    Pentas drama itu diawali dari penampilan Ibu Gubernur Putri Koster yang membaca sebuah puisi. Setelah denting gender wayang mulai dimainkan, sepasang laki perempuan menari dengan penuh rasa cinta. Perempuan yang sudah memiliki 5 anak itu, adalah istri seorang bhagawan yang berselinguh dengan pria muda. Karena ketahuan oleh Sang Bagawan, Diah Renuka (istri bagawan) itu dijatuhi hukuman mati.

    “Nah, silahkan cerna yang punya istri mudah,” ucap Anom Ranuara.
    Bagawan itu justru menyuruh anak-anaknya yang mengeksekusi ibunya yang sedang menjalani hukuman mati itu. Empat anaknya tidak mau membunuh karena takut dosa, sehingga diusir dan dikutuk menjadi cacing. Beda dengan anaknya yang bungsu bernama Rama Parasu yang diberikan pengertian bahwa, ibunya sekarang sedang menderita batin, mengurung diri dalam kamar yang tinggal menunggu eksekusi.

    Baca Juga:  Kanwil DJP Bali Kumpulkan Penerimaan Pajak Sebesar Rp2,24 Triliun

    Sang Bhegawan mengatakan, untuk melenyapkan penderitaan orang tua adalah tanggung jawab anak. Oleh karena itu, kamu jangan ragu membunuh lenyapkan jasmaninya, maka lenyaplah penderitaan. “Itu symbol, kalau orang tua menderita maka anak-anaklah yang berkewajibatn untuk mengilangkan penderitaan itu,” jelas Anom Ranuara.

    Bagaimana menghilangkan penderitaan orang tua, menjaga orang tua dengan baik, memberi kehidupan kepada orang tua sudah menjadi kewajiban sang anak. Setelah mendengar wejangan itu, Rama Parasu yang awalnya ragu kemudian langsung membunuh ibunya.
    Nah, setiap perbuatan akan mendapatkan karma, pahala. Ramaparasu yang membunuh ibunya mendapatkan pahala, disuruh mengajukan lima permintaan oleh ayahnya.

    Ramaparasu kemudian mengajukan permintaan, pertama hidupkan ibu kembali, kedua hapuskan dosaku karena sudah membunuh ibu, ketiga kembalikan saudaraku yang diusir dan dikutuk menjadi cacing, keempat berikan aku kesaktian dan umur panjang, serta kelima kelak aku hanya akan bisa dikalahkan oleh Wisnu. Maka terkabul perminaatnnya itu.

    Selang beberapa waktu, ada seorang kesatria yang datang mengoda Dewi Runuka. Pemburu itu tertarik dan menangkap Dewi Renuka, sehingga terjadi pergulatan. Kemudian datang Sang Bagawan (suaminya), menghalau. Namun, kesatria itu membunuh Sang Bagawan dari belakang. Ramaparasu datang dan merasa terbakar amarahnya, sehingga bersumpah tidak saja membunuh si pembunuh ayahnya, tetapi akan membunuh kesatria yang di dunia ini.

    Baca Juga:  Inflasi Tabanan Naik Jadi 3,78 Persen, Bupati Sanjaya Instruksikan Operasi Pasar Reguler

    Ramaparasi berprinsip kesatria sekarang tidak bisa dipercaya lagi, untuk melindungi rakyat. Ramaparasu kemudian mengembara dan membunuh setiap kesatria yang ada. Kemudian ada pewisik dari ayahnya, dengan mengatakan kamu membunuh pembunuh ayah saja, jangan semua kesatria yang dibunuh. Apa salahnya, apa kaitannya. Lalu, Ramaparasu sadar lalu menyepi ke sebuah gunung.
    Pada suatu hari datanglah rombongan Prabu Dasarata bersama anaknya Rama yang baru memenangkan sayembara mendapatka Dewi Sita.

    Rama banyak dipuji, para dewa juga menyanjung karena kehebatannya. Ramaparasu tidak terima kemudian menantang untuk perang tanding. Dalam pertandingan itu, kalau Rama bisa mengangkat busur Narayana maka dia mengaku kalah. Tetapi kalau Rama tidak bisa mengangkatnya maka Ramaparasu yang menang.

    Rama akhirnya dapat mengangkat busurnya. Rama berkata, kalau anak panah ini aku arahkan ke tanah, maka wilayahmu aku ambil. Kalau aku arahkan ke langit hasil tapamu aku ambil, kalau aku arahklan ke tubuhmu maka kamu mati Mana yang akan dipilih. Ibu Ramaparasu sempat minta tolong agar tak membunuh anaknya, namun akhirnya dipanah maka matilah Ramaparasu. (rls/kb)

    Back to top button

    Berita ini dilindungi