GianyarSeni Budaya

Perang Api Tradisi Unik di Bumi Seni

Sabetan Api Kikis Amarah dan Dendam

    GIANYAR, Kilasbali.com – Saling serang dengan sabetan bara api serabut kelapa melibatkan puluhan pemuda desa, menjadi tradisi unik di Desa Adat Nagi, Ubud, Gianyar.

    Tradisi ini menjadi pertunjukan mencengangkan saban perayaan Nyepi, Minggu (10/3). Ritual yang disakralkan ini, diterima dengan jiwa pengorbanan.

    Saling menyakiti dengan sabetan api ini dipercaya akan mengikis amarah dan dendam, sehingga warga lebih siap menyambut Tahun Baru Caka 1946.

    Pembakaran serabut kelapa ini, menandakan ritual perang api akan dimulai. Puluhan pemuda Desa Adat Nagi, Ubud, Gianyar ini pun langsung membuka baju dan tak sabaran untuk memulai berperang.

    Setelah baranya menyengat, suara kentongan dan gambelan dibunyikan, sebagai  tanda ritual perang api di Bumi Seni dimulai.

    Baca Juga:  Tradisi Akulturasi Budaya dan Agama saat Piodalan Cong Poo Kong Bio 

    Seluruh peserta langsung mengobrak abrik bara api lanjut  mengambil api serabut kepala  sebagai senjata.

    Dengan membabi buta, mereka saling sabet, pukul dan lempar api ke arah tubuh lawannya.

    Pertarungan semakin seru hingga sabetan itu menimbulkan percikan-percikan api yang betebaran.

    Warga lokal dan wisatawan asing yang menonton pun harus berhati-hati. Karena banyak bara api yang terlempar tanpa arah.

    Akibat terkena sabetan, hampir seluruh peserta, menderita luka bakar pada bagian kulitnya, dan beberapa diantaranya terluka gores. Namun luka itu justru diyakini sebagai  bagian dari pengorbanan.

    “hanya sedikit terbakar dan memar, tiga hari saja sembuh,” ungkap Putu Edi Sariawan (20), salah satu peserta perang api.

    Jro Bendesa Nagi, I Nyoman Sudana mengatakan bahwa perang api ini telah menjadi tradisi secara turun-temurun di desa adatnya setiap Hari Raya Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi.

    Baca Juga:  Pengusaha Muda Gianyar Sampaikan Terima Kasih Wayan Koster telah Melegalkan Arak Bali

    Menurut kepercayaan masyarakat secara turun temurun, kata dia hal ini dilakukan untuk melebur atau memusnahkan sifat Bhuta Kala yang ada di dalam diri.

    “Api merupakan simbol pelebur, sehingga kami yakini api yang mengenai tubuh dalam perang api ini, dapat melebur sifat Bhuta Kala di dalam diri,” ujarnya.

    Karena keyakinan tersebut pula, masyarakat yang ikut dalam perang api ini justru senang jika mereka dilempar sabut kelapa berisikan api.

    Baca Juga:  Pengrajin Perak Sebut Diselamatkan Wayan Koster, Nelayan Bali Tetapkan Hati untuk Koster-Giri

    “Meskipun tubuh terkena api dan melepuh, tidak ada yang dendam, malahan senang, karena api yang menghantam tubuh kita yakini dapat melebur hal-hal buruk di dalam diri kita,” ujarnya.

    Sudana mengatakan, sebelum perang api berlangsung, masyarakat yang mengikuti tradisi ini dipercikkan Tirta untuk menyucikan diri.

    Dimana diharapkan para peserta perang api ini memiliki pemikiran yang positif selama tradisi perang api berlangsung.

    “Kita percikan Tirta pada para peserta, dengan tujuan selama mengikuti tradisi perang api, pikiran peserta tetap positif, supaya tidak terjadi hal yang tak diinginkan,” ujar Sudana. (ina/kb)

    Back to top button

    Berita ini dilindungi